Dalam pelaksanaannya, proyek yang dikerjakan PT. Yala Angkasa Persada tersebut cukup menarik perhatian masyarakat. Pokok persoalan yang terjadi cukup teknis, sehingga cukup menarik untuk dibahas. Intisari permasalahan yang dapat “Fakta Jabar” ungkap antara lain amburadulnya hasil pekerjaan, lantaran sulitnya bahan material dan minimnya alat berat dan tenaga kerja yang disediakan PT. Yala.
Diketahuinya persoalan diatas, pertama dikarenakan adanya keraguan masyarakat atas kualitas hasil pekerjaan yang dilaksanakan oleh PT. Yala Persada Angkasa terkait menghilangkan item pekerjaan. Seharusnya awal pekerjaan yang harus dilakukan oleh PT. Yala Persada Angkasa sebelum pada tahapan rigid beton K-350, PT. Yala menggali terlebih dahulu kiri-kanan bahu jalan hingga CBR (tanah dasar) dengan kedalaman tertentu untuk memasukan aggregate widening (aggregate kelas B)dengan ketebalan 10 cm yang berfungsi menambah pelebaran.
Kedua, setelah memasukan aggregate kelas B ke dalam galian kiri-kanan bahu jalan, pihak kontraktor kembali melabur anggregat yang juga kelas B hingga menutup seluruh badan jalan dan bahu jalan, diatas aggregate kelas B tersebut barulah pada tingkatan aggregate existing dan lapisan LC (Lane Conkrit) yang selanjutnya pada tahapan rigid beton K-350.
Akan tetapi, hasil pantauan “Fakta Jabar” dilapangan (11/9/2013) kenyataannya tidak seperti itu. Sebagaimana diketahui, ada beberapa item pekerjaan yang seharusnya diterapkan justru malah dilewatkan, diantaranya tidak menggali kiri-kanan bahu jalan untuk pemasangan aggregate. Yang lebih parahnya lagi pihak PT. Yala tidak mengupas permukaan aspal lama, melainkan hanya disiasati dengan meng- grading (grader) bahu dan badan jalan saja.
Penyimpangan kualitas item pekerjaan tersebut akan berdampak pada usia rencana pembangunan yang akan dicapai. Dengan kata lain, kulitas pekerjaan yang terekduksi dan kaidah spesifikasi teknis dan analisa harga bahan dan tenaga kerja, akan menyebabkan terjadinya potensi kebocoran anggaran pembangunan yang dapat merugikan keuangan Negara.
Selanjutnya, kelengkapan persiapan peralatan yang disediakan pihak PT. Yala pun cukup meragukan untuk dapat meyelesaikan pekerjaan tetap pada waktunya yang hanya tersisa 115 hari kerja terhitung dari mulai awal pelaksanaan 7 Mei 2013.
Sebagaimana diketahui, Baching Plant (BP) yang berlokasi di Cidadap Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya saat ini baru satu unit saja yang dapat produksi. Sedangkan BP yang baru akan dibangun progress pelaksanaan baru 35 persen saja. Diprediksi dengan satu BP yang produksi tidak dapat memenuhi kebutuhan bahan material dalam proyek berskala besar tersebut.
Kesiapan lainnya yang masih dianggap kurang, yaitu crusher, grader, excavator, tandem empat ton yang malah dalam kondisi rusak, viblator, daump truck dari dua puluh unit yang dibutuhkan baru sepuluh unit yang ada, whell leader dari dua unit yang dibutuhkan baru satu unit yang berjalan, truck mixer (TM) dari sepuluh unit yang dibutuhkan baru dua yang tersedia, water tank dari dua unit yang dibutuhkan sampai saat ini belum tersedia.
Diduga kuat, tidak terpasangnya aggregate kelas B dan aggregate existing tersebut lantaran kapasitas produksi bahan material yang dihasilkan pihak PT. Yala tidak kuat memenuhi kebutuhan yang mencapai 16.000 M3. Buktinya, lima bulan berjalan pelaksanaan hanya mampu meralisasi 3.000 M3 saja, itu pun setengahnya di suplay dan dibantu pengusaha lokal.
Belum pula kebutuhan bahan material lainnya, seperti split untuk kebutuhan LC, Rigid dan CTB total yang dibutuhkan 43.406 M3, sampai saat ini baru tersedia stock lebih-kurang 500 M3. Artinya, hanya satu persen-nya saja.
Sedangkan, bahan jenis pasir untuk kebutuhan bahan dasar LC sekitar 7.280 M3, Rigid 20.840 M3 dan CTB M3 dari total 33.593 M3 yang dibutuhkan baru sekitar lebih-kurang 200 M3 persedian yang ada.
Anehnya, Kepala Satuan Kerja (Satker) Pengelolaan Jalan Nasional (PJN) Wilayah II Jawa Barat dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Cipatujah-Kalapagenep-Cimerak yang bertanggungjawab secara teknis tidak mempersoalkannya. Terkesan bagi mereka, pekerjaan yang digarap kontraktor asal Jakarta tersebut telah memenuhi standar kualitas rigid beton K-350.
Anehnya pula, seharusnya Satker/PPK yang bertanggungjawab secara teknis tidak akan membayar bila diketahui kualitas pekerjaan tidak memenuhi standar, tetapi pada kenyataannya, Satker/PPK tersebut sudah dapat memberi kelonggaran bagi PT. Yala Persada Angkasa untuk mencairkan uang senilai Rp 24 miliyar dari nilai kontrak yang dicairkan melalui dua tahapan.
Padahal sebagaimana diketahui dengan uang sebesar Rp 24 miliar pihak PT. Yala sudah dapat menekan progress fisik pekerjaan pada pencapaian 32 persen. Tapi pada kenyataannya, tercatat saat pencairan tahap dua, PT. Yala baru dapat menyelesaikan progress fisiknya sekitar tujuh persen. (FJ/HJ/CR-1/DN)
0 komentar:
Posting Komentar